Minggu, 26 Oktober 2008

Balai Kota Pontianak

Dalam merancang sebuah konsep bangunan yang kemudian menghasilkan sebuah desain arsitektural, arsitek sesungguhnya tidak hanya dituntut melahirkan bangunan yang fungsional, canggih, serta sedap dipandang mata, tetapi juga harus dapat mengakomodasi segala masalah, baik menyangkut masalah mikro maupun makro.

Namun, hal ini sering kali diabaikan oleh para arsitek kita, praktisi yang salah satu tugasnya juga adalah meningkatkan kualitas hidup manusia, lingkungan, serta bumi dan alam jagat raya ini secara lebih luas.

Untuk menyiasati pengeluaran energi yang besar, seorang arsitek harus dapat menghadirkan karyanya secara optimal serta dapat menggunakan potensi alam sebagai solusi masalah energi. Caranya adalah dengan menerapkan konsep arsitektur tropis yang antara lain mengacu pada beberapa aspek, yaitu :
1. Sinar Matahari
2. Curah Hujan
3. Arah dan kecepatan angin
4. Suhu dan kelembaban
5. Lingkungan

Dikatakan bangunan tinggi, karena bangunan tersebut mempunyai persyaratan ketinggian lebih dari 4 lantai, di Kota Pontianak sendiri telah banyak gedung-gedung tinggi yang tersebar di berbagai temapat namun tak satu pun yang mempunyai ciri bangunan dengan mempertimbangkan iklim tropis apalagi yang berarsitektur khas Indonesia. Bangunan-banguan tinggi yang berada di Kota Pontianak umumnya didesain berdasarkan pola arsitektur modern, sehingga terlihat asing, tidak menyatu dengan lingkungan bangunan di sekitarnya.
Namun pada kenyataannya untuk menerapkan konsep arsitektur tropis pada gedung-gedung bertingkat tinggi di Kota Pontianak sangat tidak mudah karena pada tingkat-tingkat di bagian atas gedung, kaca jendela harus tertutup rapat untuk mencegah masuknya tiupan angin yang keras. Dengan begitu untuk mengatasi suhu udara yang pengap, maka pendingin ruangan atau AC harus dinyalakan.

Selain itu melindungi jendela dengan atap pelindung atau kanopi untuk mencegah masuknya sinar matahari ke dalam ruangan juga akan sulit dalam pemeliharaan. Untuk membersihkan tiap atap pelindung di tingkat tinggi dari debu diperlukan biaya mahal, karena harus menggunakan peralatan khusus dan berisiko bagi pekerja yang melakukannya.

Menyikapi desain gedung Balai Kota Pontianak (akan menggantikan gedung Balai Prajurit) yang direncanakan PEMKOT Pontianak sebagai suatu langkah awal dalam program penataan WFC dirasa sudah dapat memberikan image kedaerahan, hal tersebut dapat dilihat dari pola permainan atap dan bentuk atap yang dipilih.(baca harian metro hari sabtu,12-05-07). Namun harus lebih dikaji lagi pada aspek perawatan bangunan tersebut nantinya, telah dijelaskan di atas bahwa penggunaan kanopi yang terdapat pada tiap lantai akan sulit dalam pemeliharaannya Untuk membersihkan tiap atap pelindung di tingkat tinggi dari debu diperlukan biaya mahal, karena harus menggunakan peralatan khusus dan berisiko bagi pekerja yang melakukannya, apalagi jika kita melihat dengan penyebaran walet di Kota Pontianak. Bukan tidak mungkin di bagian bawah dari kanopi tersebut dijadikan sarang walet, hal ini malah dapat merusak wajah kota.

Gedung Balai Kota Pontianak direncanakan memiliki ketinggian 9 lantai, dengan pembagian sebagai berikut :
§ Lantai Dasar : Zona Parkir Kendaraan (Semi Basement)
§ Lantai 1 (satu) : Fungsi Hall/Lobby, Convention, dan Restoran
§ Lantai 2-3 : Fungsi Kantor Sekertariat Daerah
§ Lantai 4-6 : Fungsi ruang Sekda, Wakil Walikota, dan Walikota
§ Lantai 7-9 : Fungsi Rent Office (komersial, jasa dll)

Fungsi rent Office yang menempati lantai 7-9 (berada lebih tinggi dari Walikota Kota Pontianak) dirasa perlu dipertimbangkan lagi mengingat fungsi balai kota adalah sebagai lembaga pemerintahan jika suatu lembaga pemerintahan dijadikan satu dengan fungsi komersial,jasa dll hal yang mungkin terjadi adalah penurunan fungsi dan kualitas serta immage dari suatu lembaga pemerintahan.

Tidak ada komentar: